بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Sepintas saat membaca judulnya saja saya langsung tertarik untuk membaca isinya sampai selesai, dan ternyata meemang benar-benar menarik isinya. Walaupun tulisan bapak suhadi ini memuat pesan yang keras di akhir-akhir paragraf, tapi saya sangat suka banget dengan informasi-informasi seperti ini, karena saya pribadi memang sangat setuju dengan pemikiran para sunan giri, suanan ampel, dan sunan drajat, apalagi saat ini penduduk Indonesia sudah mayoritas ISLAM, jadi bagi saya tidak ada lagi alasan islam tidak bisa di terima. Tinggal bagaimana pribadi masing-masing memandang permasalahan ini. dan yang pasti saya sangat yakin apa yang di ajarkan rosulullah itu sudah sangat jelas dan selengkap-lengkapnya tuntunan beribadah dan hidup, oleh karenanya Rosulullah MUHAMMAD SAW adalah utusan terakhir. Langsung saja, berikut copas dari sumber yang saya dapat :
Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di pulau jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang popular dengan sebuatan wali songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak Jawa Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (wali songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.
ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari’at Islam tanpa reseve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari’at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang radikal. aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syari’at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan.
Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna besar dan Yajna kecil.
Yajna besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si pulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si pulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.
Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
“Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut : “Saya sangat dengan pendapat Sunan Kali Jaga”.
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.
Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran kleni / aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut “Manunggaling Kaula Gusti” yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.
Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi pra raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari’at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang keparat itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.
Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama “Nahdhotul Ulama” yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain : “Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat”. Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.
Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kemagian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini.
Dengan sudah tahunya sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu. Orang-orang Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka.
Tak cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah yg sudah jelas terang benderang saja yg kita kerjakan. Kenapa harus ditambah-tambahin/mengada-ngada. Mereka beranggapan ajaran Rasulullah masih kurang sempurna.
Mudah-mudahan setelah kita tahu sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, kita mau membuka hati untuk menerima kebenaran yang hakiki dan kita mudah-mudahan akan menjadi orang Islam yang konsekwen terhadap ajaran Alloh dan RosulNya.
Ada satu hal yang perlu kita jaga baik-baik, jangan sekali-kali kita berani mengatakan bahwa orang yang matinya tidak ditahlil adalah kerbau. Menurut penulis, perkataan seperti ini termasuk dosa besar, karena berarti Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya serta kaum muslimin seluruh dunia selain orang pulau Jawa yang matinya tidak ditahlili adalah kerbau semua.
Na’udzu billahi mindzalik
Penulis
SUHADI
Daftar Literatur
1. K.H. Saifuddin Zuhn, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Ma’arif Bandung 1979
2. Umar Hasyim, Sunan Giri Menara Kudus 1979
3. Solihin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974
4. Drs. Abu Ahmadi, Perbandungan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977
5. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961
6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu.
7. A. Hasan, Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975
sumber : kaskus
15 responses to “Sejarah Lahirnya Tahlilan Dalam Upacara Kematian”
Sayangnya di negeri tercinta ini ketika seseorang mengajak ke sesuatu yang murni justru dianggap sesat atau apalah. Jadi agak-agak mirip dengan kisah pembantaian para pengikut sunan giri cuma sekarang tidak se-ekstrim itu.
WALLAHU’ALAM BISAWAB…
bahasan ini mau tidak mau mengarah kepada gesekan antara 2 organisasi dakwah (NU dan Muhammadiyah) dengan jumlah pengikutnya besar. (-baca: gesekan dalam hal perbedaan fiqh-)
namun diantara gesekan itu ada kemiripan dan persamaan yang tak mau disadari oleh keduanya.. persamaan itu ialah.. NU ketika mau mengamalakan hadist secara sempurna maka akan menjadi ummat Rasulullah secara tulen.. sementara Muhammadiyah ketika ia telah mengamalkan sunnah rasul dengan baik maka akan rukun dengan Ulama’ (-just share-)
wallahu a’lam..
hehehe… kalau anda menganggap ini gesekan, terbukti anda tidak membaca dengan tuntas dan teliti isi artikel tersebut. Bisa jadi anda hanya membaca sepotong2 dan merasa panas, makanya berfikiran seperti itu.
silahkan baca ulang pelan-pelan… insy anda akan faham… 🙂
owh iya maaf… saya koreksi bukan gesekan tapi perbedaan pandangan.. jauh dari kesan panas juga…
kasus tahlilan mirip dengan (apakah menggunakan jubah itu sunnah -karena Rasul sering menggunakannya-) diluar perdebatan apakah itu sunnah bersifat budaya dan sunnah bersifat perintah atau anjuran.. inti dari komen saya sebelumnya ialah perbedaan itu pasti terjadi dan menurut hadist setiap perbedaan dalam ummatku ialah rahmat.. yang mau tahlilan monggo toh acara tahlilan nggak diisi mendhem, madon madat kok,, isinya takbir, tahmid dan sholawat.. yang nggak mau tahlilan ya juga monggo.. sama2 bener.. yang salah ialah ada orang mati bukannya berbelasungkawa malah nanggep sagita (-baca: aslole…-)
#just share
hehehe… hadits yang anda postingkan “setiap perbedaan dalam ummatku ialah rahmat” memang sangat umum sekali hadits itu, tapi coba di cek lg kesohihannya… monggo ke bangil lg… 🙂
oiya, dari komen anda berarti anda tidak membaca artikel ini dengan seksama. coba baca paragraf 15, apa yang ditakutkan sunan Ampel
hehehehehe :p
namun ada kejanggalan juga… kenapa rapat wali mnyetujui?? bukankah sebagai pimpinan kanjeng Sunan Ampel juga punya hak Veto untuk membatalakn itu dan menekan para wali abangan untuk mengurungkan niatnya?
apapun yang anda rasa janggal, jangan pelit informasi dong. cari informasi nya, postingkan untuk kami semua (pembaca) sehingga kita sama2 kaya informasi… 🙂
http://blog.its.ac.id/syafii/2009/01/16/asal-usul-syekh-siti-jenar/
insy.. link diatas..
banyak versi memang
http://books.google.co.id/books?id=9omhKq0zElMC&pg=PA12&lpg=PA12&dq=Syekh+Siti+Jenar+murid+sunan+kalijaga&source=bl&ots=XkvRRYb1M4&sig=CxjYFs4KO2415X5LUzZToLhaQ7k&hl=id&ei=I4SxTs3YM87HrQesncHaAw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&sqi=2&ved=0CE8Q6AEwBg#v=onepage&q=Syekh%20Siti%20Jenar%20murid%20sunan%20kalijaga&f=false
masalah ini pernah saya debatkan sama ebes saya komrad..memang benar ajaran agama islam sudah sempurna adanya, tp ebes saya ngasih argumen yang juga tidak bisa saya bantah komrad..yaitu ISLAM MENYEMPURNAKAN AJARAN2 YANG DIBAWA NABI2 SEBELUM ROSULULLAH SAW..dari sini terjadi lagi perdebatan untuk mencari solusi bagaimana harusnya pelaksanaan tahlilan tersebut..dengan merujuk kepada hadits tentang puasa sunnah senin-kamis menggunakan qiyas akhirnya didapat jalan keluar terbaek..didukung juga oleh pendapat seorang ulama’ sepuh yang diriwayatkan oleh nenek saya yg saat itu juga ngeroyok saya komrad..PERLU DIPERTEGAS MEMANG DALAM HAL INI (IBADAH) komrad, YANG PALING BAEK ADALAH MERASA CUKUP DENGAN YANG SUDAH DICONTOHKAN OLEH ROSULULLAH SAW..klo ada sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rosulullah SAW., jalan terbaek adalah mengembalikan hal tersebut kepada AL QUR’AN dan AS SUNNAH.. ;D
Allahu a’lam bish showab..
muantaf sekali komentarnya cak duro.
saya sangat sepakat dengan apa yang anda jelaskan… seep… orang-orang seperti anda yang saya nanti-nantikan… hehehe…
fundamentalis…. huahahahahaha
opoae fan… fan…